Oleh Burhan Sodiq S.S
Satu hal yang sering menjadi kegundahan adalah, jangan jangan apa yang dipikirkan generasi senior berbeda dengan apa yang dipikirkan generasi penerusnya. Para senior sibuk dengan narasi lama yang dibangun terus menerus. Tetapi generasi penerus justru memiliki narasi sendiri. Pertanyaannya apakah ini benar terjadi?
Setiap generasi pasti punya tantangannya sendiri. Pun setiap generasi punya cara dan wasilahnya sendiri dalam menghadapi tantangan tantangan itu. Tidak bisa secara persis sama apa yang akan mereka lakukan untuk melawan musuhnya. Karena yang abadi adalah permusuhannya, sedangkan cara melawan bisa jadi sangat berbeda.
Kini yang nampak di depan mata adalah kebatilan yang nampak indah. Polanya menarik dan cara pendekatan kepada manusia juga sangat mengagumkan. Mereka punya banyak cara dan banyak pendekatan untuk menjerumuskan manusia kepada kesesatan. Tetapi sayangnya, justru pembela kebenaran selalu sibuk dengan romantisme perlawanan yang kadang hanya menyisakan kenangan yang membanggakan.
Junior yang Sibuk
Kini yang mesti kita sadari adalah bahwa tantangan dakwah sudah sangat berbeda. Tidak seperti pada zaman dulu lagi. Dulu menjadi sangat mudah menjelaskan siapa pendukung kebatilan dan siapa pendukung kebenaran. Sekarang? Lebih susah bagi dai untuk menjelaskan mana pendukung kebatilan dan mana pendukung kebenaran.
Dulu yang dikedepankan adalah aspek aspek aqidah yang diluruskan. Sehingga pola dakwah menjadi sangat massif dilakukan. Mereka focus pada pendidikan tauhid umat islam. Tidak lagi melulu pada hal hal yang tidak substansial. Maka pola yang dibangun adalah bagaimana dakwah itu diterima masyarakat. Bagaimana pola pencerdasan itu dilakukan. Bukan pada bagaimana dakwah itu berdebat sendiri sendiri.
Kini para junior justru sibuk dengan perbedaan. Mereka saling sikut pada hal hal yang berbeda. Sibuk mencari kesalahan kawan dan abai terhadap ancaman musuh. Mereka tidak begitu menaruh perhatian pada rekayasa dan makar musuh, tetapi lebih merasa suka mengorek orek kesalahan kesalahan kawan.
Peta dakwah pun berubah. Dulu yang awalnya focus pada meninggalkan perdebatan dan memprioritaskan pendidikan menjadi focus pada perdebatan di kalangan pelajar.
Hal ini semakin meruncing tatkala perdebatan tidak diselesaikan secara jumpa empat mata. Malahan diselesaikan dengan berbantah bantah di media social. Dai dai milenial lebih suka bicara di hadapan kamera dan mempostingnya, sementara pihak lain juga lebih bersemangat untuk menghadapi dengan pola yang sama.
Para pihak yang berseteru sebaiknya kembali sadar. Bahwa perdebatan dan perbedaan tidak akan pernah selesai hanya dengan berbantah bantah di media social. Hal itu hanya akan menambah netizen bingung dan bertepuk tangan pada sebuah fenomena kerusakan.
Dakwah Islam harusnya dibangun dengan semangat silaturahmi dan islah yang bagus. Tidak memberikan cap dan label dari jarak jauh. Lalu merasa sudah melakukan banyak hal untuk dakwah ini. Pertemuan seharusnya menjadikan sebuah perbedaan bertemu pada titik kompromi. Sehingga muncul kesepakatan terbaik. Siapa melakukan apa. Lalu dakwah ini kembali menjadi pesat di masa datang.
Para junior yang sibuk seharusnya segera menarik diri dari perdebatan yang tiada ujung. Menang tidak terkenal, kalah juga tidak menyenangkan. Posisi yang paling baik adalah mencoba untuk mengambil hikmah dari segala macam masalah. Lalu kembali menata ulang strategi dakwah yang lebih simultan.
Percepatan perubahan yang ada memaksa para dai untuk berkiprah lebih taktis. Tidak bisa lagi senantiasa egois dengan posisi masing masing. Tidak bisa lagi mengatakan ini masalah kamu bukan masalah saya. Tetapi sama sama menganggap problem keumatan sebagai problem bersama yang harus diatasi bersama sama.
Bukan Sosok Jagoan
Dakwah bukanlah lahan yang bisa selesai hanya oleh satu orang saja. Tetapi ia adalah gerbong perubahan yang bisa dihuni oleh banyak orang. Sama sama bekerja dan bekerja secara bersama sama. Bahu membahu menghadapi tantangan global yang semakin menantang.
Dakwah bukan tataran kerjaan pribadi yang bisa selesai hanya seorang diri. Tapi ia adalah proses menata amal dan usaha, agar bisa mengatasi banyak persoalan. Kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan keterasingan menjadi bahaya yang mengancam umat ini dari hari ke hari. Maka kesadaran untuk semakin bersinergi sangatlah dibutuhkan.
Junior siap bekerja sesuai arahan senior, dan senior siap beradaptasi dengan perubahan. Jangan sampai keduanya saling ngotot beradu argumen. Lalu saling menyalahkan dan saling menjatuhkan. Hingga pada akhirny dakwah menjadi mandek dan macet di tengah jalan.
Allah Taala berfirman: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya (al-Mâidah/5:2)
Setiap ikan pasti ada dagingnya. Ambil dagingnya dan buang durinya. Itulah prinsip dalam bekerjasama. Tidak ada manusia sempurna, semua dalam rangka bekerjasama menyempurnakan yang ada.