Oleh Burhan Sodiq
DUNIA dakwah kita dikejutkan dengan beberapa fenomena menarik. Beberapa ustad muda tersandung kalimat yang tidak mengenakkan hati ummat. Mereka pada akhirnya minta maaf dan kemudian umat pun memaafkan kesalahan kesalahan mereka.
Beberapa faktor yang menjadi penyebabnya adalah ketimpangan antara teks dan konteks. Di saat teks berdiri sendiri tanpa konteks maka teks akan mudah disalahpahami. Sementara jika orang hanya melihat pada teksnya saja, mereka akan selalu mudah untuk memvonis hal hal yang mereka tidak ketahui.
Saat seorang dai berceramah dengan metode live. Lalu dengan metode ini dakwahnya langsung bisa dinikmati melalu saluran internet. Tentu saja para pemirsa online ini tidak secara menyeluruh mengetahui bagaimana konteks itu dibangun. Mereka tidak mengikuti dari awal. Mereka hanya menyimak potongan potongan video saja. Al hasil mudah sekali bagi mereka untuk mengambil kesimpulan yang keliru.
Tak dapat dipungkiri akhirnya sering muncul salah sikap yang berlebihan. Apalagi jika sang dai memang selama ini ditunggu tunggu kesalahannya. Sehingga saat sang dai melakukan kesalahan, pihak pihak yang tidak suka dengan sangat mudah melakukan sebuah penyerangan.
Dakwah Online
Satu sisi memang dakwah online adalah sebuah kebutuhan. Namun di sisi lain para dai harus berhati hati dengan fenomena ini. Konten yang di sampaikan di sebuah masjid dengan pendengar terbatas, tentu sangat berbeda dengan konten yang disebarluaskan secara massive. Apa apa yang disampaikan di dalam masjid tentu saja aman karena tidak tersebar secara bebas. Selain itu juga sangat minim untuk berpeluang disalahpahami. Sedangkan ketika konten dakwah itu keluar masjid dan disebarluaskan tanpa editing, maka penyebutan nama dan yang lainnya bisa menyentuh ranah pelanggaran hukum.
Minimal ketika ada pihak pihak yang tidak suka, mereka dengan mudah melakukan penyerangan terhadap sosok dai tersebut. Penyerangan yang terjadi bisa dalam bentuk pemberian gelar gelar yang buruk yang tidak produktif untuk keberlangsungan dakwah islam.
Maka ke depan perlu ditata ulang bagaimana mekanisme dakwah via online. Jangan sampai semangat dalam dakwah online membuat para dai lengah dan tidak mempersiapkan diri dengan baik. Memviralkan video itu baik, tetapi juga video yang diviralkan tidak disertai dengan pemahaman akan resiko dan yang lainnya, maka akan menumbuhkan persoalan yang baru.
Setiap dai harus sadar sesadar sadarnya bahwa ketika mereka berdakwah via online, akan ada banyak orang yang mendengar ucapannya. Akan ada banyak pihak yang mungkin terkena dakwahnya. Sehingga reaksi akan mungkin sangat muncul setelah dakwah disampaikan. Jika para dai sudah mengukur resiko itu maka tidak akan menjadi masalah. Namun, jika ternyata para dai tidak memahami resiko tersebut, dan justru malah memilih serampangan dalam dakwahnya, maka hal ini tentu saja menimbulkan masalah masalah baru.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ”Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf [50] : 18).
Kecepatan viral sebuah konten dakwah akan berpengaruh pada sikap masyarakat terhadap dakwah itu sendiri. Jika dai dalam berdakwah melalui dunia maya hanya mementingkan faktor popularitas, maka ini merupakan sebuah tujuan yang salah. Apalagi saat ini banyak dai yang sangat melek dalam dunia medsos. Mereka satu sisi ingin konten dakwah mereka diterima secara luas. Tapi sisi lain mereka harus berani melawan keinginan nafsu mereka untuk terkenal.
Maka ada beberapa dai yang sangat serius menggarap konten dakwahnya dengan memilih tema tema yang sedang hangat di masyarakat. Bahkan tidak jarang mereka memilih menjadi dai yang penuh kontroversi. Sehingga dampaknya mereka menjadi mudah sekali dikenal dimasyarakat melalui video video dakwahnya. Hal ini baik baik saja selama niatnya memang semata mata untuk dakwah. Maka setiap dai yang melakukan ini harus terus berupaya membersihkan hatinya dari niat niat yang tidak perlu.
Disaring Sebelum Disharing
Ada baiknya setiap lembaga dakwah memerhatikan soal editing dalam dakwahnya. Memerhatikan apakah jika konten dakwah itu disebar secara viral akan menyebabkan sebuah masalah ataukah tidak. Sebab prinsip dakwah adalah menyampaikan kebenaran dan bukan mengolok olok sebuah kesalahan. Jangan sampai kebenaran belum sempat tersampaikan, akan tetapi dakwah sudah telanjur ditolak oleh pihak pihak lain.
Penyaringan konten dakwah juga dalam rangka untuk menjembatani ketimpangan antara teks dan konteks yang saya sebutkan di awal. Ketika orang hadir dalam majelis bersama dengan ustad yang menyampaikan, tentu saja berbeda dengan orang yang hanya menyimak secara online. Mereka yang menyimak secara online tidak akan merasakan atmosfer kajian yang ada di masjid itu. Mereka tidak mendapatkan kehangatan dan semangat yang sama.
Lalu apa yang terjadi? Orang orang yang berada dalam satu majelis bisa jadi merasakan bahwa kesalahan sang ustad dalam ceramah adalah bagian dari bumbu retorika karena terbawa suasana. Sedangkan orang yang hanya menyimak via online memiliki semangat yang berbeda. Mereka menyimak bukan untuk mencari kebenaran, tetapi mencari kesalahan kesalahan yang mungkin saja dilakukan ustad tersebut.
Harapan ke depan dakwah kita semakin lama semakin banyak menjangkau berbagai kalangan. Tentu saja dengan meminimalkan masalah dan membesar maslahat yang ada. Karena jika yang dibesarkan adalah masalahnya, maka dakwah hanya akan jalan di tempat saja dan tidak ada progress yang berarti.