Mungkin bagi tiga guru Pembina pramuka itu tiada ada perasaan aneh, saat berangkat ke lokasi susur sungai. Bersemangat, dan menyemangati anak didiknya. Pamit kepada istri dan keluarga seperti biasa. Senyuman melambai, optimis menatap masa depan. Ia tak menyangka kalau akan terjadi tragedi hanyutnya siswa dan siswi mereka.
Kini mereka berbaju oranye. Meringkuk di jeruji besi. Entah kena vonis berapa lama. Keluarganya menatap pilu. Ayah dan suami mereka tertahan karena tragedy yang merenggut nyawa.
Di lokasi lain, jamaah umroh. Riang gembira siap berangkat. Jauh hari sudah menjahitkan seragam. Warnanya cerah dan bagus. Sudah beli peralatan aneka sabuk, dan kebutuhkan saat ibadah di tanah suci. Semua saudara sudah dipamiti. Satu persatu pada pesen oleh oleh. “Jangan lupa parfumnya ya, jangan lupa kurma ajwanya ya, jangan lupa gamisnya ya, jangan lupa buah delimanya ya.”
Sibuk mencatat di kertas. Doa doa dari kawan yang nitip dibacakan di depan kakbah. Sudah poto unggah story wa dan instagram. Sudah senang, sudah bahagia. Sampai di bandara, dapat kabar gagal berangkat karena otoritas Saudi melarang jamaah umroh Indonesia masuk Negara mereka karena antisipasi virus Corona.
Lemes. Menggenang airmata di sudut kedua mata. Nyesek. Kenapa harus terjadi. Sedih, menangis, pilu dan haru. Tak bisa berbuat apa apa. Itu yang masih di Bandara Domestik, sedangkan yang di KL, di Singapura lebih sedih lagi.
Bayangan indahnya bisa thawaf sambil live story IG pudar sudah. Bayangan bisa menikmati sore di masjid Nabari berpayungkan payung payung besar hilang sudah. Bayangan bisa duduk di karpet hijau raudah pun melayang.
Dua fragman ini mengajarkan pada kita, bahwa kita hanya hamba yang bisa berencana. Sedangkan ketentuan Allah seringkali datang tanpa kita sangka sangka. Semoga kita semakin takwa dan semakin shalih. Ditempa dengan kejadian kejadian yang luar biasa. Untuk membuat kita dewasa, sekaligus semakin dekat dengan Rabb kita. Aamiin.