Oleh Burhan Sodiq
Pernah melihat orang presentasi jualannya? Ya, pasti anda pernah melihatnya. Bagaimana dia begitu memukau dengan gaya presentasinya. Menggunakan senyuman, tools, alat alat, serta sekian banyak strategi akan dia gunakan untuk memikat calon konsumen. Tujuannya apa, jelas tujuannya adalah agar konsumen tertarik dengan produk jualannya. Lalu memutuskan untuk membeli produk tersebut.
Memang, jualan itu harus mengenali cara menjual. Sebuah produk sebagus apapun, jika tidak bisa cara menjualnya maka akan tidak laku. Produk akan ditolak dan kemudian pembeli tidak akan tertarik lagi. Oleh karena itu memerhatikan metode menjual menjadi penting bahkan sama pentingnya dengan kualitas produk itu sendiri.
Dalam dunia dakwah juga seperti itu. Dakwah adalah mengajak, menghasung orang untuk ikut dan mau menerima dakwah kita. Maka berbicara soal kemasan dakwah juga menjadi penting daripada konten dakwah itu sendiri. Jangan sampai konten dakwah harus ditolak atau tidak diterima hanya gara gara kemasan dakwah yang tidak menarik.
Karena dakwah ini adalah ibadah maka dia harus memenuhi prinsip prinsip dakwah yang benar. Jangan sampai atas nama ingin mengemas dakwah secara luwes, kita justru menafikan prinsip prinsip dakwah tersebut.
Pertama, dakwah harus memuat ilmu. Apa yang disampaikan harus mengandung ilmu. Ia tidak boleh mengarang apa apa yang tidak ada. Sehingga apa yang disampaikan hanya soal hal hal yang tidak mengandung ilmu. Berjam jam menyampaikan, tetapi tidak ada ilmu yang dia sampaikan di hadapan khalayak. Bertahun tahun berdakwah, tetapi umatnya masih belum banyak mengetahui apa apa soal islam.
Firman Allah : “Katakanlah (wahai Muhammad) inilah jalanku, (yaitu) saya berdakwah ke jalan Allah di atas Bashîrah, (ini adalah jalan)ku dan orang-orang yang mengikutiku. Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk kaum musyrikin.” [Yûsuf : 108]
Al-Bashîrah yang dimaksud pada ayat tersebut adalah ilmu. Karena seorang da’i pasti akan berhadapan dengan para ‘ulama sesat, dihadapkan padanya berbagai syubhat, dan akan didebat dengan kebatilan untuk menghancurkan al-haq.
Koridor ini yang senantiasa harus dijaga. Apakah yang disampaikan itu mengandung ilmu atau tidak. Jangan jangan kita merasa berdakwah tetapi ternyata tidak melakukan dakwah karena tidak ada ilmu yang disampaikan sama sekali. Atau kalau pun ada, sangat sedikit sekali ilmu yang disampaikan.
Kedua, dakwah harus memuat dan mengandung amal, (yaitu) mengamalkan apa yang ia dakwahkan. Sehingga ia menjadi qudwah hasanah (teladan yang baik), perbuatannya selaras dengan ucapannya, dan tidak ada celah bagi ahlul batil atasnya (untuk menjatuhkannya). Allah I berfirman kepada Nabi-Nya Syu’aib u, bahwa beliau berkata kepada kaumnya :
“Dan aku tidak bermaksud menyalahi kalian (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) kebaikan semampuku.” [Hûd : 88]
Allah juga berfirman :
“Siapakah yang lebih baik ucapannya dibandingkan orang yang berdakwah ke jalan Allah dan beramal shalih?” [Fush-shilat : 33]
Silakan memilih apa apa yang menjadi baik untuk dakwah ini, tetapi targetnya adalah mengamalkan apa apa yang dia dakwahkan. Bukan hanya sekedar kata kata nan indah tetapi juga harus diamalkan dengan amal nyata.
Ketiga, dakwah itu harus dilakukan dengan ikhlas. Al-Ikhlâsh, yaitu dakwah dilakukan karena mengharap wajah Allah U. Tidak dimaksudkan karena riya`, tidak karena sum’ah, tidak karena mencari kedudukan yang tinggi, tidak karena kepemimpinan, tidak pula karena ambisi-ambisi duniawi. Apabila dakwah terkotori oleh perkara-perkara tersebut, maka tidak lagi menjadi dakwah ilallâh (ke jalan Allah), namun menjadi dakwah kepada dirinya sendiri atau untuk memenuhi maksud dan tujuannya. Sebagaimana Allah U memberitakan tentang para nabi-Nya, bahwa mereka berkata kepada kaumnya :
“Wahai kaumku, aku tidak meminta kepada kalian atas dakwahku ini upah/bayaran.” [Hûd : 51]
“Wahai kaumku, aku tidak meminta kepada kalian atas dakwahku ini harta.” [Hûd : 29]
Hal ini menjadi sebuah niat yang tulus. Bahwa seorang dai tidak menjadikan dakwahnya sebagai niatan untuk mencari dunia. Ia harus terus menjaga niat ini sampai akhir nanti saat dipanggil oleh Allah. Semua yang menjadi dakwahnya harus diniatkan mencari ridha Allah taala.
Keempat, dakwah diusahakan untuk bisa bertahap. Memulai dari permasalahan terpenting kemudian yang penting. Yaitu dakwah pertama kali adalah untuk memperbaiki aqidah, dengan memerintahkan untuk ikhlash (memurnikan) ibadah hanya kepada Allah dan melarang dari kesyirikan. Kemudian setelah itu memerintahkan untuk menegakkan shalat, membayar zakat, dan mengerjakan kewajiban-kewajiban serta menjauhi larangan-larangan. Sebagaimana yang demikian itu merupakan tharîqah (metode) para rasul semuanya. Hal ini sebagaimana firman Allah :
“Sesungguhnya telah Kami utus kepada setiap umat seorang rasul (tugas utamanya adalah menyeru) bahwa ‘beribadahlah kalian hanya kepada Allah dan jauhilah oleh kalian thâghût’.” [An-Nahl : 36]