Mendidik yang Seimbang

Oleh Burhan Sodiq

Dunia yang semakin modern ini memberi tantangan yang sangat hebat kepada setiap orang tua. Tantangan itu berupa sebuah pertanyaan besar, yaitu mampukah anak anaknya bersaing di dunia yang semakin maju. Teknologi melesat menembus batas batas yang ada. Sementara di sisi lain, kita ingin memberikan bekal agama yang cukup kepada anak anak kita. Sebab dengan ilmu agama yang benar, maka akan menjadi pondasi bagi anak untuk menghadapi masa depannya.

Ada yang sangat kuat memberi bekal bekal ilmu dunia kepada anaknya. Memberi les tambahan, les musik, piano, komputer dan ilmu pendukung lainnya, dengan harapan mereka mampu bersaing dengan zaman yang membesarkannya. Tapi mereka sama sekali tidak memperhatikan soal pendidikan agama anak anaknya. Sehingga anak anak mereka tumbuh dengan visi dunia yang sangat hebat. Mahir dalam ilmu ilmu pendukung untuk menguasai dunia ini. Sebaliknya, di sisi akhlak dan ilmu dien mereka sangat jauh tertinggal.

Di sisi lain, ada sebagian orang tua yang memilih memberi porsi luar biasa pada agama anak anaknya. Mereka diberikan pendidikan agama dengan porsi ekstra. Sampai-sampai mereka tidak memberikan bekal bekal ilmu umum kepada anak anaknya. Sehingga anak anaknya hanya menguasai kitab kitab ulama, dan menghafal Quran. Sementara untuk ilmu yang lain, mereka tidak menguasainya sama sekali. Maka muncullah ketimpangan yang tidak seharusnya terjadi.

Dibutuhkan Tawazun

Dari fakta di atas, kita berpikir bahwa inilah saatnya dibutuhkan sikap tawazun. Yaitu seimbang dalam urusan pendidikan anak anak kita. Kita lihat kepada para sahabat dan para ulama yang sudah menerapkan hal ini. Mereka mengutamakan pendidikan agama di awal, dan kemudian melengkapinya dengan ilmu ilmu pendukung.

Seperti kita tahu, tugas pertama orang tua dan pendidik adalah mengajarkan anak perkara-perkara yang hukumnya fardhu ‘ain. Perkara yang merupakan pokok dan sendi agama, seperti masalah Ketuhanan, shalat, berwudhu, puasa, berbakti pada orang tua dan sebagainya. Setelah semua yang fardhu ‘ain itu diajarkan maka selanjutnya orang tua dan pendidik memperhatikan kecenderungan dan bakatnya. Jika dalam pengamatannya si anak cendrung kepada masalah agama maka dia dukung dengan fasilitas yang sewajarnya, baik mencarikan guru, buku-buku ataupun kebutuhan lainnya, sehingga dia tumbuh menjadi seorang ulama.

Namun jika setelah diamati ternyata kecenderungannya pada ilmu-ilmu sosial, keterampilan, kedokteran dan sebagainya, maka dukungan pun dicurahkan. Target akhirnya, dia tumbuh menjadi ahli dalam bidang yang disukainya itu. Tidak semestinya orang tua memaksa anak mendalami ilmu atau bidang yang tidak disenanginya. Karena hal itu bisa membuatnya tertekan secara psikologis. Karena, pada satu sisi dia punya keinginan, namun kenyataan memaksanya untuk membuang keinginan itu dan melakukan keinginan orang tua.

Ibnu Qayim mengatakan, “Di antara yang perlu diperhatikan dalam mendidik anak adalah memperhatikan pribadi dan kecendrungannya. Setiap anak diciptakan dengan bakat dan kecendrungan berbeda-beda. Orang tua harus mengetahui kecndrungan itu. Jangan sampai anak dibebankan dengan sesuatu yang tidak sesuai dengan bakat dan kecendrungannya, selama kecendrungan itu adalah perkara yang mubah. Anak yang dipaksa melakukan sesuatu yang tidak diminatinya tidak akan sukses. Sementara, di sisi lain dia telah kehilangan kesempatan menggapai sesuatu yang cocok untuk dirinya.

Anaknya yang punya daya tangkap dan hapalan kuat biasanya cenderung pada bidang keilmuan. Maka hendaklah pola hidupnya diarahkan kepada kehidupan layaknya seorang calon ilmuan. Anak yang kelebihannya pada fisik lebih menonjol maka sebaiknya dia diarahkan pada pendidikan keprajuritan atau keahlian lain yang mengandalkan fisik. Jika yang lebih menonjol pada dirinya minat wiraswasta atau bisnis, maka dididik menjadi seorang wiraswatawa atau pebisnis.”

Ilmu adalah penyejuk jiwa. Ketinggian nilainya membuat penuntutnya berhak mendapat doa dari seluruh makhluk setiap dia pergi dan pulang, sebagai tanda ridha atas apa yang dia kerjakan. Anas bin Malik meriwayatkan, bahwa Nabi saw bersabda, “Menuntut ilmu adalah kewajiban atas setiap muslim. Orang yang memberikan ilmu bukan kepada orang yang berhak, sama seperti orang yang mengalungkan permata kepada babi. (HR. Ibnu Majah)

Abdul Malik bin Marwan berkata kepada guru anaknya, “Ajarkan dia kejujuran sebagaimana kamu mengajarinya Al Qur’an. Jauhkan dia dari orang-orang bodoh yang tidak punya sifat wara’ lagi tidak beradab. Jangan biasakan dia dengan pembantu, karena itu bisa merusak jiwanya. Izinkan dia makan daging agar tubuhnya kuat. Ajari juga dia syair-syair agar dia diperhitungkan dan dimuliakan. Biasakan dia bersiwak (menggosok gigi) secara vertikal, minum dengan mengisap air dan tidak minum sambil bernafas. Jika menurutmu dia perlu dihukum, maka jangan sampai terlihat oleh para pembantunya, karena itu bisa membuat dia remeh di mata mereka.”

Dalam pesan dia atas, Abdul Malik tidak hanya memperhatikan aspek agama dan akal semata. Tapi dia juga menyinggung masalah akhlak, fisik, lisan, kesehatan dan sosial.

Hisyam bin Abdul Malik, juga berpesan pada pendidik anaknya. “Anakku ini adalah penyejuk mata dan hatiku. Aku serahkan dia padamu untuk kamu dididk. Maka, bertakwalah pada Allah dalam mendidiknya dan tunaikan amanah ini dengan baik. Ajarkan dia Al Qur’an dan syair-syair yang bagus. Ajaklah dia mengelilingi tanah Arab untuk mencari syair-syair yang bagus itu. Dan ajari juga dia perkara halal dan haram, ceramah dan sejarah peperangan”

Khalifah Harun Ar Rasyid, salah satu Khalifah Bani Abbas, juga berpesan kepada guru anaknya Muhammad Amin. Bunyi pesannya, “Sesungguhnya Amirul Mukminin telah menyerahkan kepadamu buah hatinya. Maka sambutlah amanahnya dengan hati lapang. Sebagai guru kamu berhak dia taati. Tunaikanlah amanah ini sesuai yang diinginkan Amirul Mukminin. Ajarkan dia membaca Al Qur’an, hadis, sayair-syair, perkara-perkara sunnah dan juga sejarah. Latih dia berbicara dan ceramah. Larang dia banyak tertawa kecuali pada waktu-waktu tertentu. Ajari dia menghormati tamu-tamu dari Bani Hasyim, jika ada dari mereka yang menjenguknya. Didik dia menghargai sidang para pemimpin jika dia turut hadir di dalamnya. Jangan biarkan waktu berlalu kecuali engkau beri dia suatu pelajaran yang bermanfat. Jangan buat dia sedih. Karena kesedihan itu bisa mematikan akalnya. Jangan pula engkau terlalu memanjakannya sehingga membuatnya malas. Luruskan kesalahannya dengan sekuat tenagamu dengan kelembutan. Namun, jika mereka tidak berubah dengan cara itu maka kerasilah mereka.”

Sesuatu yang sudah dipelajari sejak kecil, sangat berpangaruh pada saat seseorang dewasa. Hapalan dan pelajaran di waktu kecil lebih tertanam dalam hati dan lebih lekat dalam dalam otak. Ibnu Abbas mengatakan, “Tanyakanlah pada saya apa saja yang berkaitan dengan surat An Nisa. Karena saya mempelajarinya ketika saya masih kecil.” (HR. Hakim)

Menuntut ilmu adalah kewajiban seiap muslim. Baik laki-laki maupun perempuan, sudah besar maupun masih kecil. Yang masih kecil adalah kewajiban orang tua dan walinya utuk menuntunnya ke arah itu.

Di antara ilmu yang sangat urgen diajarkan pada anak adalah ilmu Sirah. Ilmu yang menggambarkan kenyataan yang terjadi pada zaman perjuang Islam. Di dalam Sirah terdapat kisah-kisah yang menakjubkan yang sedianya menjadi motivasi penting bagi anak.

Pakar psikologi anak menyatakan bahwa kisah atau cerita adalah sarana yang baik untuk pendidikan anak. Karena di samping menarik perhatian kisah juga memajukan pikiran dan menambah wawasannya. Apalagi kisah-kisah yang mengandung banyak pelajaran seperti kisah Nabi dan sahabatnya. Kisah seperti ini bisa menjadi pedoman dan pegangan hidupnya. Allah berfirman:

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ (يوسف: 111)

“Dan sungguh telah ada pada kisah-kisah mereka pelajaran bagi orang-orang yang berpikir.” (QS. Yusuf: 111).

Nah, sekaranglah saatnya kita memantapkan kembali mindset kita. Mengarahkan pendidikan anak anak kita menuju arah yang sudah digariskan Nabi Saw. Memberikan pondasi kuat al quran dan assunnah, dan kemudian memperkuatnya dengan ilmu ilmu yang menjadi kecenderungan mereka. Sehingga nantinya mereka akan bahagia dengan apa yang mereka pelajari. Tidak pernah tertekan, apalagi depresi dengan tuntutan yang terlalu besar dari orang tua mereka.

Burhan Sodiq

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *